Laman

Rabu, 25 April 2012

Cita-cita


Cita-cita menurut definisi adalah keinginan, harapan, atau tujuan yang selalu ada dalam pikiran. Tidak ada orang hidup
tanpa cita-cita, tanpa berbuat kebajikan, dan tanpa sikap hidup.
Cita-cita itu perasaan hati yang merupakan suatu keinginan yang ada dalam hati. Cita-cita yang merupakan bagian atau salah satu unsur dari pandangan hidup manusia, yaitu sesuatu yang ingin digapai oleh manusia melalui usaha. Sesuatu bisa disebut dengan cita-cita apabila telah terjadi usaha untuk mewujudkan sesuatu yang dianggap cita-cita itu.


 

3  Faktor yang menentukan dapat atau tidaknya seseorang mencapai cita – citanya antara lain :

- Manusia itu sendiri

- Kondisi yang dihadapi dalam rangka mencapai cita – cita tersebut

- Seberapa tinggi cita – cita yang ingin dicapai.
2 Faktor kondisi yang mempengaruhi tercapai tidaknya cita – citanya antara lain :
- Faktor yang menguntungkan
- Faktor yang menghambat.
2. Kebajikan atau Kebaikan
CREATOR: gd-jpeg v1.0 (using IJG JPEG v62), quality = 90
Kebajikan atau kebaikan pada hakikatnya adalah perbuatan moral, perbuatan yang sesuai dengan norma-norma agama atau etika. Manusia berbuat baik, karena menurut kodratnya manusia itu baik dan makhluk bermoral. Dia adalah seorang individu yang utuh, terdiri atas jiwa dan raga. Dia memiliki hati yang pada hakikatnya lagi, memihak pada kebenaran dan selalu mengeluarkan pendapat sendiri tentang pribadinya, perasaannya, cita-citanya, dan hal-hal lainnya. Dari yang dirasakan manusia tersebut, manusia cenderung lebih memihak pada kebaikan untuk dirinya sendiri. Inilah yang membuat sebagian manusia ‘terpilah’ menjadi manusia egois, yang seringkali seperti tidak mengenal kebajikan.
Untuk melihat apa itu kebajikan, kita harus melihat dari 3 segi, yaitu :
a. Manusia sebagai pribadi, yang menentukan baik-buruknya adalah suara hati.
b. Manusia sebagai anggota masyarakat atau makhluk sosial, manusia hidup bermasyarakat, saling membutuhkan, saling menolong, dan saling menghargai anggota masyarakat.


Artikel:
Komnas Perempuan: Kekerasan Halangi Cita-cita Kartini

Wardah Fazriyati | wawa | Jumat, 20 April 2012 | 21:28 WIB





shutterstock
Selama perempuan masih mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual, cita-cita Kartini untuk memberdayakan dan membuat perempuan lebih mandiri sulit terwujud.



KOMPAS.com - Pemberdayaan dan kemandirian perempuan, sebagaimana yang menjadi cita-cita Kartini akan sulit terwujud jika perempuan masih mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan kekerasan seksual.

"Semangat utama Kartini, sebagaimana yang terdapat dalam tulisan-tulisannya adalah semangat menegakkan hak-hak utama perempuan, seperti  hak atas pendidikan, kemandirian ekonomi, hak untuk tidak disakiti dan sikap protesnya terhadap budaya atau adat-istiadat yang mendiskriminasi perempuan", jelas Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan untuk Pendidikan dan Partisipasi Masyarakat dalam siaran persnya.

Menurut Neng Dara, aspek penting yang semestinya diperingati dari Hari Kartini adalah  merefleksikan dan mengevaluasi apakah cita-cita Kartini saat ini sudah terpenuhi atau belum.


Faktanya kini, adat istiadat atau budaya yang dikecam Kartini masih terus berlangsung. Di antaranya jumlah penyandang buta huruf perempuan, di atas usia 15, masih lebih banyak dibandingkan laki-laki. Data Kementrian Pendidikan Nasional pada 2010 menyebutkan, jumlah perempuan penyandang buta huruf mencapai 5,3 juta, sementara laki-laki 2,9 juta. 

Fakta lainnya, masih banyak jumlah perempuan yang menikah di bawah umur juga perempuan yang dipoligami. Hukum perkawinan juga masih bias gender, dan istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) jumlahnya juga tinggi.


Dalam catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah tingkat kekerasan yang paling tinggi di Indonesia, yakni sebanyak 113.878 kasus. Sementara kekerasan  yang dilakukan oleh masyarakat sebanyak 5.187 kasus (4,35 persen) dan sisanya dilakukan oleh negara sebanyak 42 kasus (0,03 persen).

Neng Dara mengatakan, sesungguhnya Indonesia sudah memiliki intrumen hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan, seperti UU PKDRT dan peraturan lainnya. 

"Instrumen hukum ada, tetapi akses pengetahuan masyarakat terhadap Undang-undang atau peraturan tersebut masih sangat terbatas," tandasnya.


Tanggapan saya:

Kartini merupakan pejuang perempuan yang memerangi hak perempuan yang sebenarnya. Semangat menegakkan hak-hak utama perempuan, seperti  hak atas pendidikan, kemandirian ekonomi, hak untuk tidak disakiti dan sikap protesnya terhadap budaya atau adat-istiadat yang mendiskriminasi perempuan.

Sekarang-sekarang ini banyak perempuan Indonesia yang tidak mendapatkan haknya sebagai perempuan. Contohnya banyak perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penyiksaan itu terjadi karena perempuan-perempuan indoensia tidak mendapatkan haknya untuk berbicara. Mereka dibatasi oleh keadaan dan kondisi yang mereka alami.

Selayaknya manusia yang ingin mendapatkan haknya, banyak aktivis-aktivis perempuan yang memulai aksinya dari melakukan penyluhan-penyuluhan disekolah, kampus bahkan di jalan. Mereka para aktivis wanita ingin memperjuangkan hak perempuan bisa disebut juga sebagai kartini muda. Kartini-kartini yang siap dan siaga untuk menolong sesame wanita.

Banyak juga perempuan Indonesia yang menikah dibawah umur. Rata-rata mereka didesak oleh masalah ekonomi, ada juga yang disebabkan oleh keluarga mereka dan masih banyak fakta-fakta lasinnya yang membuat perempuan Indonesia jauh dari cita-cita Kartini.

Selbagai perempuan saya juga merasakan penderitaan perempuan-perempuan Indonesia yang mengalami kekerasan dan kurangnya pengertian hak untuk mereka. Maka dari sekarang kita sebagai perempuan muda harus lebih berjuang terhadap hak yang kita miliki. Jangan hanya dapat berdiam diri dan menyaksikan penderitaan yang terjadi, kita harusnya bertindak dengan melakukan aksi!!! Maju terus wanita Indonesia J


Source:
http://meilimeili.wordpress.com/2011/03/30/babvi202/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar